Kisah: Ibuku Berdusta Kepadaku 8 Kali
(oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi)
Salah seorang sahabatku mengirimkan ringkasan kisahnya bersama ibunya, dimana kisah itu telah membuatku menangis. Sekarang, kisah tersebut dipersembahkan pada kalian semua; dia berkata:
Kisah ini bermula saat kelahiranku. Aku adalah seorang anak satu-satunya dalam sebuah keluarga yang sangat miskin, kami tidak memiliki makanan yang mencukupi kami. Suatu hari, kami mendapatkan nasi yang bisa kami makan dan bisa mengganjal kelaparan kami. Lalu ibuku memberikan bagian makannya kepadaku. Maka di saat ia mulai memindahkan nasi dari piringnya ke piringku, ia berkata, “Wahai putraku, makanlah nasi ini, aku tidak lapar.” Inilah dustanya yang pertama.
Di saat aku mulai sedikit besar, saat itu ia baru selesai dari mengurus keperluan rumah, ia pergi menziarahi kerabatnya, iapun berangan-angan seandainya saja mereka menghidangkan daging untuknya. Pada suatu ketika, dengan karunia Allah, ia berhasil datang dengan membawa dua potong daging setelah kerabatnya menghidangkan untuknya, dan ia tidak memakannya, bahkan ia meletakkan kedua potong daging itu di sisinya, lalu segera pulang ke rumah dengan cepat, menyiapkan makan siang dan meletakkan kedua potong daging itu dihadapanku. Kemudian aku pun mulai makan potongan pertama sedikit demi sedikit. Sementara itu, ibuku memakan daging yang tersisa di sekitar tulang. Hatiku pun tergetar karenanya, lalu aku letakkan potongan yang lain di hadapannya agar ia memakannya. Lantas ia kembalikan daging itu di hadapanku dengan segera dan berkata, “Wahai putraku, makanlah potongan ini juga, tidakkah kamu tau bahwa aku tidak suka daging?” Inilah dustanya yang kedua.
Di saat aku sudah besar, aku harus ikut belajar di madrasah, sementara kami tidak memiliki harta yang mencukupi kami untuk membiayai sekolah. Maka ibuku pun pergi ke pasar lalu membuat kesepakatan dengan karyawan salah satu stand pakaian untuk menjahit pakaian. Dalam suatu malam, di musim dingin yang sangat dingin, aku bangkit dari tempat tidurku pada tengah malam, ternyata aku mendapati ibuku sedang menjahit. Maka aku memanggilnya, “Ummi, mari kita tidur, malam telah larut, juga sangat dingin, masih memungkinkan bagi Ummi untuk melanjutkan kerja besok pagi.” Ibuku tersenyum lalu berkata, “Wahai putraku, tidurlah, aku tidak mengantuk”. Inilah dustanya yang ketiga.
Pada suatu hari, berita sampai kepadanya bahwa seorang temanku mengancam akan memukuliku setelah keluar dari sekolah. Maka ibuku datang ke sekolahku pada saat bel terakhir bunyi, aku keluar ternyata ibuku telah menungguku di bawah teriknya sinar matahari. Lalu ia memelukku dengan kuat dan menegur teman yang mengancamku itu. Ibuku lalu memberiku minuman, aku pun meminumnya hingga tiak lagi merasa haus. Tiba-tiba aku melihat ibuku, kulihat keringat mengalir darinya, maka aku memberikan minuman itu kepadanya namun ibuku menolak dan berkata, “Wahai putraku, minumlah, aku tidak haus”. Inilah dustanya yang keempat.
Setelah kematian ayahku, ibuku hidup menjanda. Ia harus memenuhi segala kebutuhan sendiri. Kehidupan kami saat itu lebih memprihatinkan dan terus dalam derita kelaparan. Lalu, pamanku adalah orang yang baik, ia sering mengirim makanan untuk menutup kelaparan kami. Para tetangga yang melihat kondisi kami, mereka memberi nasehat pada ibuku agar menikah lagi agar bisa memberikan nafkah pada keluarga kami. Namun ibuku menolak untuk menikah dan berkata, “Aku tidak butuh suami”. Inilah dustanya yang kelima.
Setelah aku selesai dari studi dan lulus di perguruan tinggi, aku mendapatkan pekerjaan yang lumayan. Aku pun yakin bahwa inilah saat yang tepat bagi ibuku untuk beristirahat dan meninggalkan tanggung jawab membiayai rumah untukku. Pada saat itu, kesehatannya sedang terganggu. Ia biasa menjahit pakaian kemudian mengantarkan ke pasar tiap pagi. Ketika ia menolak untuk meninggalkan pekerjaannya itu, aku pun menyisihkan satu bagian dari gajiku untuknya. Ia pun menolak dan berkata, “Wahai putraku, simpanlah hartamu ini, aku punya harta yang mencukupiku”. Inilah dustanya yang keenam.
Lalu aku meneruskan studiku untuk mencapai magister dan ternyata berhasil, aku pun ditetapkan menjadi direktur pada sebuah perusahaan ditempat aku bekerja di sebuah cabang pada kota lain dan gajiku pun naik. Aku merasa sangat bahagia. Mulailah aku bercita-cita untuk memulai permulaan kehidupan yang baik dan bahagia. Setelah menyiapkan segalanya, aku menghubungi ibuku dan mengajaknya untuk datang dan tinggal bersamaku. Namun ibuku tidak suka merepotkanku dan berkata, “Wahai putraku, aku tidak terbiasa hidup mewah”. Inilah dustanya yang ketujuh.
Ibuku pun menjadi lanjut usia, terkena kanker ganas dan wajib ada orang yang merawatnya di sisinya. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan, antara aku dan ibuku yang tercinta terhalang jarak yang jauh. Aku pun pergi mengunjunginya di rumah. Aku menemukan ibu tergolek di atas ranjang setelah operasi. Saat ibuku melihatku, ia berusaha tersenyum untukku, akan tetapi hatiku pun teriris karena ia sangat kurus dan lemah, ia seperti bukan ibuku yang dulu ku kenal. Air mataku pun mengalir dari kedua mataku, akan tetapi ibuku berusaha menghiburku dan berkata, “Janganlah menangis wahai putraku, aku sama sekali tidak merasa sakit.” Inilah dustanya yang kedelapan.
Setelah ibuku berkata demikian, ia menutup matanya dan tidak pernah lagi membukanya untuk selamanya...
Semoga Allah merahmati wanita-wanita yang bertanggung jawab seperti ini.
Sumber: majalah Qiblati, edisi 02 tahun V, 2009, hlm 102-104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar